Follow Now......!

Selasa, 12 Januari 2010

Gus Dur Pejuang Multikulturalisme

Abdurahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur adalah tokoh bangsa yang memahami Islam sebagai agama yang dinamis dan transformatif. Pemikiran Gus Dur yang melampaui zamannya itu sangat relevan dalam konteks Indonesia yang multikultur.
Aktivis Gerakan Minahasa Muda (GMM), Rikson Karundeng mengatakan, Gus Dur, untuk masyarakat Minahasa dikenal pemimpin yang pernah berjasa dalam menaikkan harga cengkih. “Bagi masyarakat etnis Tionghoa, Gus Dur bahkan dikenal sebagai tokoh yang telah memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga Indonesia ,” kata Rikson membuka acara ‘Bakudapa Mawale”, yang bertajuk “Gus Dur, Islam, dan Multikulturalisme” yang digagas oleh Mawale Cultural Center (MCC) di Tomohon, Sabtu (9/1).
Hadir dalam acara “Bakudapa Mawale” tersebut antara lain Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Manado dan Tondano, Tokoh Muda Khonghucu Sulut Sofyan Yosadi SH, Ketua Penggerak Gerakan Minahasa Muda (GMM) Meidy Tinangon, Frisky Tandaju dari Pinawetengan Muda, Chandra Dengah Rooroh dari Tou Treman dan Bodewyn Talumewo dari MCC, serta sejumlah mahasiswa UKIT.
Sofyan Yosadi mengatakan, bagi etnis Tionghoa dan penganut agama Konghucu di Indonesia, Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa yang telah memberi ruang kebebasan bagi mereka untuk mengekspresikan kebudayaan agamanya. “Di zaman Gus Dur agama Konghucu kemudian bisa bebas beribadah lagi. Gus Dur sangat berjasa bagi kami, dan untuk Indonesia,” kata Yosadi.
Meidy Tinangon mengatakan, dalam konteks Minahasa sekarang ini terpenting adalah memberi apresiasi terhadap pemikiran Gus Dur dengan lain bersikap terbuka terhadap yang lain. “Realitasnya di Minahasa masih banyak yang bersikap eksklusif dalam memahami kehadiran yang lain. Padahal, kondisi sosial lokal dan global kita menuntut keterbukaan dalam berinteraksi. Pemikiran Gus Dur tentang ini sangat maju, dan sudah semestinya pemikirannya terus dilanjutkan dan dikembangkan,” kata Tinangon.
Rusli Umar, dari PMII Cab. Manado mengurai tentang perjalanan intelektual Gus Dur yang sangat kompleks. “Gus Dur, tokoh Islam yang terbuka, makanya dia seorang intelektual yang berwawasan luas. Latar belakang pendidikannya ala pesantren yang tradisional, kemudian di Cairo dan Baghdad antara lain yang telah membentuk karakter pemikirannya yang khas. Gus yang kemudian menjadi sangat pluralis, tentu tak lepas dari interaksi keilmuannya dengan pemikiran-pemikiran Barat. Gus Dur melampaui cara pikir kebanyakan ulama NU lainnya,” jelas Rusli.
Pertanyaan menarik diajukan oleh Fredy Wowor dari Mawale Cultural Center . “Siap setelah Gus Dur? Saya pikir ini yang penting untuk kita renungi bersama. Bahwa, sebagai seorang yang mampu melampaui zaman dalam berpikir, pemikiran Gus Dur perlu dilanjutkan dalam kontek keberagaman Indonesia ,” ungkapnya.
Beberapa peserta diskusi lainnya, antara lain Greenhil Weol, Denni Pinontoan, dan Frisky Tandaju menegaskan soal pentingannya mengembangkan sikap yang multikulturalis dalam konteks Indonesia.(irz)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More